OPINI – Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2025 sesungguhnya lahir untuk menjawab keresahan rakyat tentang bagaimana daerah mengelola anggaran dan belanja daerah. Inpres itu bukan sekadar dokumen formal dari pusat, tetapi tolok ukur moral bagi kepala daerah agar setiap rupiah yang dikeluarkan mampu menjawab kebutuhan mendasar rakyatnya.
Di Luwu Utara, Inpres ini seharusnya dijadikan kompas dalam melangkah—agar anggaran difokuskan pada penanganan keterpurukan ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur, pendidikan, serta penanggulangan bencana yang kerap menjadi luka kolektif masyarakat.
Ironisnya, di tengah kondisi keuangan daerah yang tidak stabil, publik justru dipaksa menyaksikan tontonan mewah yang menciderai akal sehat: syukuran mobil dinas baru Bupati Luwu Utara dengan harga yang kabarnya mencapai Rp1,9 miliar. Peristiwa ini bukan hanya soal pemborosan anggaran, melainkan sebuah simbol betapa jauhnya jarak antara penderitaan rakyat dan kenyamanan elit.
Mari kita bandingkan realitasnya. Jalan rusak masih menjadi keluhan utama masyarakat di pelosok. Banjir dan longsor datang saban musim, menelan harta benda bahkan korban jiwa. Tenaga honorer masih bergulat dengan kesejahteraan yang tak kunjung membaik. Angka putus sekolah masih membayangi masa depan generasi muda. Pertanyaannya: apakah pembelian mobil mewah benar-benar menjadi prioritas ketika rakyat masih berkubang dalam kesulitan?
Lebih menyedihkan lagi, isu ini justru beredar dalam obrolan ringan di warkop, seolah-olah menjadi bahan candaan getir rakyat terhadap pemimpinnya sendiri. Rakyat bukan menuntut sesuatu yang muluk. Mereka tidak meminta gedung megah atau fasilitas glamor. Mereka hanya ingin kepastian hidup yang layak: jalan yang bisa dilalui tanpa rasa takut, pendidikan yang terjangkau, kesehatan yang memadai, dan rasa aman dari bencana. Syukuran yang layak dilakukan hari ini adalah syukuran atas rakyat yang sejahtera, bukan syukuran atas kursi empuk dan kendaraan baru.
Ketika seorang pemimpin lebih sibuk memamerkan simbol kekuasaan daripada mengikis penderitaan warganya, di situlah misi kepemimpinan kehilangan makna. Janji “Luwu Utara AMAN” kini berubah menjadi ironi. Aman bagi siapa? Aman bagi elit yang berlindung di balik mobil mewah, atau aman bagi rakyat kecil yang saban hari harus berjibaku dengan jalan rusak, banjir, dan ekonomi yang kian terpuruk?
Opini ini lahir dari rasa kecewa sekaligus kepedulian. Saya percaya, pemimpin sejati diukur bukan dari mobil yang ia tumpangi, melainkan dari sejauh mana ia sanggup menampung keluh kesah rakyat dan menjawabnya dengan tindakan nyata. Batinku menangis melihat kenyataan ini. Kepemimpinan yang seharusnya menjadi pelita justru terasa redup, tenggelam oleh kemewahan yang menutup mata dari jeritan rakyat.
Luwu Utara butuh pemimpin yang berani menanggalkan ego, yang rela menunda kenyamanan pribadi demi kebahagiaan kolektif. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat periode ini bukan sebagai masa kebangkitan, tetapi sebagai era di mana nurani rakyat dikalahkan oleh nafsu kekuasaan. Berita ini adalah telaah kritis yang terus digaungkan dan wajib kita lanjuti.
Yakusa.(****)
Penulis: Reski (Ketua HMI Cabang Luwu Utara)