WARTAWAKTU.com|LUWU TIMUR -Dalam suasana khidmat dan penuh kebersamaan, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Luwu Timur, Inyoman Sugiana, menyampaikan sebuah dharmawacana yang menggugah kesadaran umat Hindu akan esensi sejati dari pelaksanaan Yadnya. Bertempat di Pura Jagatnatha Desa Kertoraharjo, sambutan tersebut tidak hanya menjadi pengantar upacara, tetapi juga sebuah refleksi spiritual yang mengajak umat untuk menimbang ulang makna persembahan suci dalam kehidupan sehari-hari.
Yadnya : Antara Bakti dan Beban
Sugiana membuka dengan mengingatkan bahwa hidup dalam ajaran Hindu adalah sebuah kewajiban suci Dharma. Salah satu manifestasi paling nyata dari Dharma adalah Yadnya, yang berarti persembahan atau pengorbanan suci. Namun, ia menegaskan, tidak semua Yadnya membawa berkah. “Ada Yadnya yang justru membuat orang jatuh miskin,” ujarnya, mengutip Bhagawadgita yang membagi Yadnya ke dalam tiga sifat alam: Satwam, Rajas, dan Tamas.
– Yadnya Satwika dilakukan dengan tulus, sesuai sastra, tanpa pamrih. Inilah Yadnya yang melahirkan kedamaian dan keberkahan sejati.
– Yadnya Rajas cenderung penuh perhitungan, dilakukan demi pujian atau keuntungan duniawi. Hasilnya bisa datang, tapi sifatnya sementara.
– Yadnya Tamas, yang dilakukan tanpa aturan dan kadang disertai kemarahan atau menyakiti makhluk lain, justru membuka pintu penderitaan.
“Jangan lihat seberapa besar sesajen atau megahnya upacara. Yang terpenting adalah niat, kesucian hati, dan kesesuaian dengan Dharma,” tegas Sugiana.
Filosofi Tingkatan Yadnyab: Nista, Madya, Utama
Lebih jauh, Sugiana menjelaskan pembagian tingkatan Yadnya dalam tradisi Bali: Nista (sederhana), Madya (menengah), dan Utama (agung). Pembagian ini bukan sekadar klasifikasi ritual, melainkan hasil evolusi ajaran Hindu yang mempertimbangkan filosofi ruang-waktu (Tri Mandala) dan kemampuan umat (Desa, Kala, Patra).
– Utama Mandala melambangkan alam Dewa, tempat upacara paling suci dan kompleks.
– Madya Mandala mencerminkan alam manusia, sebagai ruang transisi.
– Nista Mandala melambangkan alam Bhuta, tempat upacara sederhana.
“Para leluhur kita bijak. Mereka tahu bahwa tidak semua umat mampu melaksanakan upacara besar. Maka, tingkatan ini diciptakan agar semua bisa tetap menjalankan Yadnya sesuai kemampuan, tanpa kehilangan nilai spiritualnya,” jelas Sugiana.
Kualitas Lebih Penting dari Kuantitas
Sugiana menekankan bahwa nilai spiritual Yadnya tidak ditentukan oleh jumlah sesajen atau kemegahan ritual, melainkan oleh kualitas keyakinan (Sradha) dan ketulusan hati (Bhakti). Ia mengutip Bhagawadgita IX.26 : “Setangkai daun, seteguk air, jika diberikan dengan hati yang suci, akan diterima.”
Seruan Bijakv: Jangan Berutang Demi Upacara
Menutup sambutannya, Sugiana menyampaikan harapan agar umat Hindu di Luwu Timur senantiasa bijak sebelum melaksanakan Yadnya. “Ukurlah kekuatan finansial kita. Jangan sampai selesai menyadnya, kita malah punya hutang,” pesannya. Ia juga menegaskan peran penting PHDI, para tokoh agama, pandita, dan serati dalam memberikan pencerahan agar umat dapat melaksanakan Yadnya yang bersifat Satwika.
Dengan penuh harap, Sugiana menutup dharmawacana dengan doa agar Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa memberikan tuntunan dan anugerah kepada umat.
Om Santhi Santhi Santhi Om.