HeadlineOpiniProfilViral

Hukum Mati Koruptor: Dosen UIN Surakarta, Mustain Nasoha Soroti Langkah Presiden Prabowo Subianto

116
×

Hukum Mati Koruptor: Dosen UIN Surakarta, Mustain Nasoha Soroti Langkah Presiden Prabowo Subianto

Sebarkan artikel ini
Gus Mustain Nasoha

OPINI – Korupsi telah lama menjadi kanker ganas yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Praktik ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan supremasi hukum. 

Setiap tahun, triliunan rupiah uang rakyat raib ke tangan segelintir orang yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat. Sekolah-sekolah rusak, rumah sakit kekurangan fasilitas dan rakyat kecil harus berjuang keras untuk bertahan hidup, sementara para koruptor menikmati kemewahan hasil kejahatan mereka.

Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan sistem transparansi keuangan, hingga penegakan hukum yang lebih ketat. Namun, praktik korupsi terus beradaptasi, menjadi semakin canggih dan sulit diberantas. 

Dalam situasi genting ini, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan kebijakan paling kontroversial dalam sejarah hukum Indonesia: hukuman mati bagi siapa pun yang terbukti mencuri uang negara, bahkan hanya Rp1. 

Kebijakan ini diumumkan secara resmi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yang memberikan kewenangan luar biasa bagi Kejaksaan Agung dan KPK untuk menindak pelaku tanpa ampun.

Keputusan ini sontak mengguncang berbagai kalangan. Para pendukung kebijakan ini menilai bahwa hukuman mati akan menjadi terapi kejut yang efektif untuk menakut-nakuti para koruptor dan menyelamatkan bangsa dari kehancuran moral. Namun, di sisi lain, para aktivis hak asasi manusia dan akademisi hukum mempertanyakan konstitusionalitas dan efektivitas kebijakan ini dalam menekan angka korupsi. 

Sejarah menunjukkan, bahwa banyak negara yang berhasil menurunkan tingkat korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati, melainkan dengan membangun sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

Meskipun kontroversial, kebijakan ini telah membuka diskusi besar tentang bagaimana bangsa ini harus menghadapi musuh terbesar dalam sistem pemerintahan: korupsi yang telah berakar kuat dalam berbagai aspek kehidupan.

Apakah hukuman mati akan menjadi solusi ampuh, atau justru akan menimbulkan dampak sosial dan hukum yang lebih kompleks? Pembahasan ini akan mengupas lebih dalam landasan hukum, implikasi sosial, serta efektivitas hukuman mati sebagai strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akademisi, sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta Ahmad Muhamad Mustain Nasoha memberikan tanggapan dan analisis ilmiahnya sebagai berikut :

Landasan Hukum dan Konstitusionalitas Hukuman Mati bagi Koruptor. Dalam konteks hukum pidana, hukuman mati di Indonesia diatur dalam KUHP dan sejumlah peraturan perundang-undangan khusus, seperti UU Narkotika dan UU Terorisme. 

Namun, penerapan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi menimbulkan perdebatan dalam kerangka konstitusional dan hak asasi manusia. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable right). Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, seperti korupsi dalam situasi bencana alam.

Dalam revisi KUHP terbaru (UU Nomor 1 Tahun 2023), hukuman mati tetap dipertahankan sebagai pidana pokok dengan mekanisme peninjauan setelah 10 tahun berdasarkan perilaku terpidana.

Jika selama masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan perilaku baik, hukuman mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. KUHP baru juga mengatur bahwa jika hukuman mati tidak dilaksanakan dalam waktu 10 tahun setelah permohonan grasi ditolak oleh presiden, hukuman tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. 

Hal ini mencerminkan pendekatan yang lebih selektif dalam penerapan hukuman mati serta mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan rehabilitasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pemberantasan korupsi juga telah memberikan ruang bagi penguatan sanksi, meskipun belum secara eksplisit memasukkan hukuman mati dalam kasus di luar bencana alam.

Hukuman mati bagi koruptor sebenarnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, penerapannya masih terbatas pada kondisi tertentu, seperti ketika korupsi dilakukan dalam situasi bencana alam, dan hingga saat ini belum pernah diterapkan dalam praktik hukum.

Dalam hukum pidana, penerapan hukuman mati harus mempertimbangkan asas proporsionalitas (lex talionis), di mana hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan kesalahan yang dilakukan.

Penerapan hukuman mati secara luas bagi semua bentuk korupsi, termasuk kasus dengan nominal kecil, berpotensi bertentangan dengan asas ultimum remedium, yang menggarisbawahi bahwa sanksi pidana berat hanya digunakan sebagai pilihan terakhir.

Penerapan Hukuman Mati dibeberapa Negara

Di berbagai negara, hukuman mati diterapkan sebagai sanksi tertinggi bagi kasus korupsi besar yang dianggap merusak stabilitas negara. Tiongkok, misalnya, memiliki kebijakan tegas dalam menangani korupsi melalui Criminal Law of China. Jika seorang pejabat terbukti melakukan korupsi lebih dari 3 juta yuan, ia dapat dijatuhi hukuman mati. Namun, eksekusi sering kali ditangguhkan selama dua tahun, dan bisa dikurangi menjadi hukuman seumur hidup jika terpidana menunjukkan perilaku baik.

Di Iran, korupsi besar dikategorikan sebagai mofsed-e-filarz, atau “perusakan di muka bumi,” berdasarkan Islamic Penal Code. Hukuman mati dapat dijatuhkan jika tindakan korupsi dinilai telah merugikan negara secara luas. Sementara itu, Korea Utara dikenal memiliki kebijakan ekstrem dalam menindak korupsi. 

Berdasarkan Criminal Law of North Korea, pejabat yang terbukti melakukan korupsi besar bisa langsung dieksekusi di depan umum sebagai bentuk peringatan keras kepada masyarakat.

Vietnam juga memberlakukan hukuman mati bagi kasus korupsi yang melibatkan nilai lebih dari 1 miliar dong, sebagaimana diatur dalam Vietnam Penal Code (2015). Namun, ada kemungkinan pengurangan hukuman jika pelaku mengembalikan uang hasil korupsi. 

Sementara itu, di Arab Saudi, hukum berbasis Syariah memungkinkan hukuman mati bagi koruptor jika tindakannya dianggap mengancam stabilitas negara, seperti yang terjadi dalam operasi pemberantasan korupsi tahun 2017.

Hukuman mati bagi koruptor terus menjadi perdebatan global. Sebagian pihak berpendapat bahwa kebijakan ini dapat memberikan efek jera yang kuat, sementara yang lain menilai bahwa hukuman mati tidak selalu efektif dalam memberantas korupsi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Pandangan ilmiah terhadap Pernyataan Prabowo Subianto: Hukuman Mati sebagai Instrumen Pencegahan Korupsi

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait penerapan hukuman mati bagi koruptor merupakan langkah progresif yang layak diapresiasi. Korupsi, sebagai extraordinary crime, telah menjadi systemic failure yang menghambat pembangunan dan merampas hak sosial-ekonomi rakyat. 

Oleh karena itu, pendekatan retributive justice melalui hukuman mati dapat menjadi solusi efektif untuk menciptakan deterrence effect yang kuat.

Mustain Nasoha sebagai akademisi dan pemerhati hukum mendukung penuh terhadap kebijakan ini menunjukkan, bahwa publik telah lama kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum yang cenderung permisif terhadap korupsi. 

Media sosial dipenuhi opini yang menyatakan persetujuan atas pendekatan represif ini, mengindikasikan bahwa publik menghendaki perubahan yang lebih fundamental dalam pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, menurut Mustain Nasoha kebijakan ini juga menimbulkan shockwave di kalangan pejabat pemerintahan. Banyak birokrat mulai menunjukkan moral panic, dengan sejumlah laporan menyebutkan adanya pejabat yang mengalami tekanan psikologis ekstrem akibat ancaman hukuman mati.

Fenomena ini menunjukkan bahwa selama ini, mereka menyadari adanya legal loopholes yang memungkinkan praktik koruptif berlangsung tanpa konsekuensi yang signifikan.

Dampak lainnya terasa pada sektor administratif dan bisnis. Kontraktor mengeluhkan bahwa banyak pejabat daerah menjadi terlalu takut untuk menandatangani pencairan dana proyek, yang berpotensi menyebabkan bureaucratic gridlock. Namun, hal ini justru bisa menjadi momentum bagi reformasi sistem administrasi keuangan negara agar lebih transparan dan berbasis akuntabilitas ketat.

Dari perspektif criminology of corruption, hukuman mati dapat berfungsi sebagai instrumen specific deterrence bagi individu yang berpotensi melakukan korupsi serta general deterrence bagi masyarakat luas. Teori deterrence dalam hukum pidana menyatakan bahwa semakin tinggi risiko hukuman, semakin rendah insentif seseorang untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks korupsi, ancaman hukuman mati dapat menghilangkan moral hazard yang selama ini melekat dalam sistem birokrasi.

Sebagai comparative reference, negara-negara seperti Tiongkok dan Iran yang menerapkan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi telah berhasil menekan angka korupsi secara signifikan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara yang hanya mengandalkan mekanisme pencegahan berbasis transparansi tanpa hukuman berat, di mana korupsi tetap menjadi endemic problem. Indonesia harus berani mengambil langkah serupa untuk menciptakan lingkungan pemerintahan yang lebih bersih dan berintegritas.

Pernyataan Prabowo Subianto mengenai hukuman mati bagi koruptor merupakan gagasan yang tepat dalam konteks penegakan hukum yang lebih tegas. Korupsi telah menjadi public enemy, dan tanpa kebijakan yang radikal, praktik ini akan terus melanggengkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Hukuman mati, sebagai bagian dari zero tolerance policy, akan mengirimkan pesan kuat bahwa negara tidak akan mentoleransi korupsi dalam bentuk apa pun.

Untuk memastikan efektivitas kebijakan ini, pemerintah harus melakukan harmonisasi regulasi guna mempersempit legal vacuum dalam penerapannya. Selain itu, perlu ada integrasi antara retributive justice dan preventive measures melalui reformasi birokrasi, digitalisasi layanan publik, serta AI-based supervision dalam pengelolaan anggaran negara.

Demi masa depan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi, mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto adalah langkah strategis yang sejalan dengan prinsip good governance dan supremasi hukum. Indonesia membutuhkan pemimpin dengan keberanian politik yang tinggi untuk menegakkan keadilan substantif, dan penerapan hukuman mati bagi koruptor adalah bukti konkret dari komitmen tersebut.(**)

Koni Palopo