WARTAWAKTU.com|TANAH LUWU memiliki sejarah panjang yang membentang dari zaman kerajaan hingga era modern. Wilayah ini bukan sekadar entitas administratif di Sulawesi Selatan, tetapi merupakan peradaban tua yang telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Dari La Galigo, Sawerigading, hingga Datu Luwu Andi Djemma, nama-nama besar ini menjadi simbol betapa Luwu adalah pusat peradaban, bukan pinggiran sejarah.
Namun hari ini, Luwu Raya kembali dihadapkan pada realitas ketimpangan. Tidak hanya dalam pembangunan, tapi juga dalam cara kami anak-anak Luwu Raya dipandang. Penjemputan paksa oleh aparat terhadap mahasiswa IPMIL RAYA di asrama Kijang, tanpa dasar hukum yang jelas, mencederai rasa keadilan dan menggugah kembali satu pertanyaan besar:
Apakah kami masih dianggap bagian dari provinsi ini, atau hanya sekadar pendatang di tanah sendiri?
Luwu Raya: Negeri Kaya yang Belum Berdaulat secara Politik
Wilayah Luwu Raya meliputi empat daerah: Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo. Di atas kertas, ini hanyalah pembagian administratif. Tetapi di lapangan, ini adalah wilayah kaya yang telah memberi kontribusi besar bagi Sulawesi Selatan dan Indonesia.
• Tambang emas dan nikel di Luwu dan Luwu Timur
• Perkebunan sawit dan kakao yang tersebar luas,
• Potensi perikanan, kehutanan, dan energi yang melimpah,
• Serta sumber daya manusia yang hebat dari tokoh nasional, pengusaha sukses, hingga akademisi dan birokrat.
Namun semua ini belum cukup jika politik anggaran, perhatian pusat, dan perlindungan hukum tak pernah hadir dalam bentuk nyata. Luwu Raya hingga kini belum menjadi provinsi sendiri. Padahal secara geografis, ekonomi, sosial, dan historis, semua syarat objektif dan subjektif telah terpenuhi.
Negara Harus Hadir, Sebelum Rasa Memiliki Hilang
Peristiwa di Asrama IPMIL RAYA baru-baru ini bukan sekadar insiden hukum. Ia adalah alarm sosial. Ketika mahasiswa Tana Luwu yang menahan diri untuk tidak terlibat dalam konflik justru dijemput paksa, sedangkan pelaku kekerasan dan provokator berkeliling membawa senjata tajam tanpa ditindak, maka wibawa hukum dan institusi negara patut dipertanyakan.
Kami tidak anti-aparat. Tapi kami menuntut hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Dan jika negara tak mampu hadir melindungi martabat warganya di tempat orang, maka berikan kami rumah sendiri. Berikan kami provinsi Luwu Raya.
Bukan Sekadar Aspirasi, Tapi Kehendak Sejarah
Gerakan pemekaran Provinsi Luwu Raya bukanlah isu baru. Sudah lebih dari dua dekade aspirasi ini hidup. Tapi kali ini, suara itu menggema lebih dalam karena menyangkut identitas, martabat, dan keadilan.
Konflik yang terjadi belakangan ini di Makassar bukan konflik etnis, bukan juga politik kampus. Tapi ini adalah simptom dari ketidakhadiran negara terhadap daerah yang memiliki sejarah dan harga diri yang besar. Bahkan ketika Kepala Daerah se-Luwu Raya bertemu Wali Kota Makassar, kami menyambut positif inisiatif itu, tetapi sangat disayangkan tokoh-tokoh organisasi mahasiswa dan pemuda tidak dilibatkan. Padahal merekalah subjek utama dari persoalan ini.
Penutup: Kami Tidak Ingin Diistimewakan, Kami Hanya Ingin Diperlakukan Adil
Sebagai anak bangsa, kami tidak pernah meminta diistimewakan. Kami tidak menuntut lebih. Kami hanya ingin diperlakukan setara dan diberi ruang untuk mengatur rumah sendiri.
Sudah saatnya DPR RI, DPD RI, Kementerian Dalam Negeri, dan Presiden Republik Indonesia menjadikan Provinsi Luwu Raya sebagai agenda nasional. Kami punya segalanya—sumber daya, sejarah, identitas, dan solidaritas. Yang kami butuhkan hanyalah pengakuan dan keberanian negara untuk memberikan mandat itu.
Tana Luwu bukan wilayah di pinggiran.Ia adalah pusat peradaban yang hanya menunggu waktunya untuk berdiri sendiri.(**)
Oleh: Abd Hafid Ansr Mustaring
Ketua Umum PB IPMIL RAYA dan Tokoh Muda Tana Luwu