WARTAWAKTU.com – Aluk Todolo merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Toraja yang sudah ada sejak dulu. Menurut kepercayaan masyarakat, kepercayaan ini diterima nenek pertama manusia dalam bentuk ketentuan dan aturan hidup yang disebut dengan sukaran aluk.
Berasal dari kata “Aluk” yang berarti aturan atau cara hidup dan “Todolo” yang berarti nenek moyang.
Dengan demikian, Aluk Todolo berarti agama para leluhur atau cara serta aturan hidup para leluhur.
Penganut agama leluhur ini memiliki kewajiban untuk menyembah dan memuliakan Puang Matua atau Sang Pencipta, dan para leluhur mereka diwujudkan dalam berbagai sikap dan aturan-aturan hidup maupun ritual-ritualnya.
Dalam kepercayaannya, mulanya Aluk Todolo diturunkan oleh Puang Matua pada leluhur pertama Datu La Ukku’ yang kemudian menurunkan ajaran tersebut kepada anak cucunya mengenai tatanan hidup yang selaras dengan bumi/alam tempat manusia diciptakan.
Namun seiring berjalannya waktu, kedatangan misionaris dari Belanda membawa Agama Kristen masuk Toraja dan kini menjadi agama mayoritas di Bumi Lakipadada, mulai mempengaruhi eksistensi Aluk Todolo.
Meskipun demikian, hingga saat ini kepercayaan Aluk Todolo masih tetap bertahan dan ada di tengah masyarakat Toraja, terutama di daerah pinggiran.
Salah satunya di Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja.
Kecamatan Simbuang adalah salah satu daerah administrasi bagian barat Kabupaten Tana Toraja, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat.
Jarak Kecamatan Simbuang dari Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja, sekira 74 km, dengan waktu tempuh 6-8 jam. Namun jika kondisi cuaca hujan, bisa lebih lama dari delapan jam.
Sebagai salah satu dari wilayah paling jauh untuk disentuh, Kecamatan Simbuang merupakan wilayah adat Toraja yang tentunya masih memegang teguh nilai-nilai kepercayaan Aluk Todolo.
Karena jarak dan akses yang sulit dan masih belum layak ke sana membuat pengaruh dunia modern cukup lambat dirasakan masyarakat di Simbuang.
Warga di Kecamatan Simbuang bukanlah terisolasi, namun cukup lambat mengikuti perkembangan dunia modern.
Meski demikian, sejak tahun 2019, dengan akses jalan yang mulai diperbaiki walaupun memakan waktu yang lama, perlahan-lahan masyarakat mulai bersentuhan dengan perkembangan teknologi, terutama jaringan internet.
Kepercayaan Aluk Todolo, sayangnya, tak mendapat tempat sebagai agama dalam negara Republik Indonesia. Kepercayaan ini akhirnya dikelompokkan sebagai bagian dari agama Hindu atau disebut Hindu Dharma Aluk Tadolo, atau Hindu Alukta.
Keputusan tersebut tertulis dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bimas Hindu-Buddha bernomor Dd/H/200-VII/69 tertanggal 15 November 1969.
Aluk Todolo tentunya berbeda dengan agama Hindu.
Namun karena adanya peraturan yang mengharuskan mencantumkan agama yang diakui pada masa Orde Baru, mau tidak mau penganut agama Aluk Todolo mencantumkan Agama Hindu sebagai agamanya
Hal ini terbawa hingga kini di tengah masyarakat Toraja yang memeluk kepercayaan Aluk Todolo.
Aluk Todolo di Antara Dunia Modern
Pada dasarnya, kepercayaan Aluk Todolo mengajarkan mengenai nilai-nilai kehidupan tentang bersyukur kepada Puang Matua atau Sang Pencipta, menghormati Deata atau Dewa penjaga dan para Leluhur agar kehidupan manusia senantiasa dijauhkan dari malapetaka.
“Saya rasa, semua agama mengajarkan tentang hidup rukun dengan sesama manusia agar menjaga sikap dalam bertingkah dan bertutur, menjaga alam yang menopang kehidupan kita, dan beryukur untuk tidak ditimpahkan malapetaka,” ungkap Ambe’ Randa, salah satu penganut kepercayaan Aluk Todolo di Dusun Ke’pe’, Kecamatan Simbuang.
“Nenek moyang kita orang Toraja dalam menunjukkan syukurnya yah dengan memberikan persembahan-persembahan untuk para penjaga kita, atau kita sering dengar orang sebut Deata atau Dewa,” ungkapnya.
“Kita berterimakasih kepada Sang Pencipta atau Puang Matua karena memberikan hal yang melimpah dan kita menghormati leluhur yang meneruskan nilai-nilai itu turun temurun sebagai pedoman kehidupan kita,” papar Ambe’ Randa.
Lanjut Ambe’ Randa, dalam keluarga besarnya saat ini, hanya tinggal dia, istri, dan ibunya saja yang menganut Kepercayaan Aluk Todolo. Sedangkan anak dan cucunya semua beragama Kristen.
“Anak-anak saya tumbuh besar saat Agama Kristen sudah masuk di kampung ini. Saya tidak melarang mereka untuk memilih menganut agama apapun yang mereka yakini, karena saat mereka memberi alasan untuk memeluk agama itupun, saya rasa nilai-nilainya tidak jauh dari Aluk Todolo,” katanya.
Jumlah penganut kepercayaan Aluk Todolo dan yang menganut agama Kristen di Simbuang hampir sama sama, 50:50.
Bahkan, beberapa masyarakat, meski telah menganut agama Kristen, tapi beberapa aktivitas kehidupannya masih mengikuti Aluk Todolo.
Talondo Tallu
Tidak hanya di Kecamatan Simbuang, penganut Aluk Todolo juga ada di daerah lain di Tana Toraja.
Di Tana Toraja, setiap daerah memiliki sejarah nenek moyangnya masing-masing, yang tentunya hal ini mempengaruhi cara atau nilai atau kebiasaan masyarakat di suatu daerah secara turun temurun.
Nenek Talondo, salah satu Parenge’ di Tondok atau pemimpin ritual Aluk Todolo di Kecamatan Malimbong Balepe’, dikenal juga sebagai pemegang kunci air terjun Talondo Tallu.
Talondo Tallu merupakan salah satu objek wisata alam air terjun di Tana Toraja.
Namun, untuk bisa menikmati keindahan air terjun ini, pengunjung harus memperhatikan beberapa pamali atau pantangan.
“Kalau kesini, tidak boleh bawa makanan yang ada darahnya seperti ayam, ikan, atau babi. Jangan juga bawa Lombok atau pa’piong (makanan khas Toraja yang dimasak dalam bambu),” ungkap Siwa, cucu Nenek Talondo.
“Yang paling penting, tidak apa-apa berenang di kolam air terjun, tapi jangan menggunakan pakaian hitam di area air terjun, baik itu baju, celana, atau bahkan sarung,” paparnya.
Menurutnya, area Talondo Tallu ini adalah area sembayang, area persembahan untuk Deata yang menjaga wilayah ini.
Siwa menjelaskan baha yang dilarang itu adalah beberapa yang dipersembahkan saat ritual.
“Makanya biasa saya minta jangan langgar tiga pantangan itu kalau datang ke sini. Karena biasanya, kalau bukan dia yang kena malapetaka, saya dan keluarga yang sakit-sakitan, dan itu biasa terjadi,” ungkap Nenek Talondo.
Nenek Talondo bersama suami masih menganut Aluk Todolo, sedangkan anak dan cucunya menganut agama Kristen Protestan.
Nenek Talondo juga menjelaskan bahwa intinya, ajaran Aluk Todolo itu untuk bersyukur dan mengikuti aturan agar tetap selamat dan terhindar dari malapetaka, karena semua yang ada pada manusia itu adalah pemberian Puang Matua atau Sang Pencipta.
“Tidak ada yang salah dengan agama-agama yang lain yang ada sekarang, karena itu keyakinan dalam pikiran masing-masing manusia,” ucap Nenek Talondo.
“Selama kita masih bisa menjaga sikap dan menghargai alam, tentunya keseimbangan akan selalu terjaga. Yang salah
itu kalau mengaku beragama tapi tidak bisa menjaga kedamaian,” pesan Nenek Talondo.(*)