BudayaHeadlineNusantaraViral

Mengenal Tradisi Kapitayan, Jejak Spiritual Leluhur Nusantara Terlupakan

37
×

Mengenal Tradisi Kapitayan, Jejak Spiritual Leluhur Nusantara Terlupakan

Sebarkan artikel ini

WARTA WAKTU – Kepercayaan Kapitayan adalah salah satu kepercayaan kuno yang pernah berkembang di Nusantara, khususnya di Jawa, sebelum masuknya pengaruh agama-agama besar seperti Hindu, Buddha dan Islam.

Meski kini nyaris hilang dari ingatan, Kapitayan memainkan peran penting dalam membentuk spiritualitas masyarakat Jawa pada masa lalu.

Kepercayaan ini mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa kuno memandang alam semesta, kehidupan dan keberadaan Tuhan.

Kapitayan berasal dari kata “Taya,” yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti “kosong” atau “tiada.” Konsep utama dari agama ini adalah pemujaan terhadap Sang Hyang Taya, yang dianggap sebagai kekuatan tertinggi, gaib dan tak terlihat.

Sang Hyang Taya tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan secara fisik, berbeda dengan dewa-dewa dalam agama Hindu atau Buddha yang memiliki perwujudan konkret.

Kepercayaan ini berfokus pada keyakinan bahwa kekuatan Sang Hyang Taya hadir di seluruh alam semesta. Segala sesuatu di dunia ini, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, merupakan manifestasi dari kekuatan tersebut.

Oleh karena itu, dalam praktik Kapitayan, pemujaan sering dilakukan terhadap benda-benda atau tempat yang dianggap suci, seperti pohon besar, batu, mata air, dan gunung. Benda-benda ini diyakini menjadi tempat bersemayamnya kekuatan gaib Sang Hyang Taya.

Ritual-ritual dalam Kapitayan sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat agraris Jawa. Salah satu praktik yang umum dilakukan adalah sesaji atau persembahan kepada roh-roh halus dan kekuatan alam.

Ritual ini biasanya dilakukan pada saat-saat penting seperti panen, menanam padi, atau ketika masyarakat memohon hujan. Sesaji bisa berupa makanan, minuman, atau benda-benda lainnya yang diletakkan di tempat-tempat yang dianggap keramat.

Selain itu, masyarakat yang menganut Kapitayan juga mempercayai adanya roh leluhur yang harus dihormati dan dipuja. Mereka meyakini bahwa roh-roh leluhur ini memiliki kekuatan untuk memberikan perlindungan atau mendatangkan bencana, tergantung pada bagaimana mereka diperlakukan.

Oleh karena itu, upacara penghormatan terhadap leluhur menjadi bagian penting dari kepercayaan ini.

Seiring dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa pada abad ke 4 hingga ke 7, kepercayaan Kapitayan mulai mengalami perubahan.

Beberapa elemen dari Kapitayan diadaptasi dan digabungkan dengan ajaran Hindu-Buddha yang lebih dominan.

Misalnya, konsep dewa-dewa dalam Hindu-Buddha sering kali diselaraskan dengan kepercayaan lokal yang ada, sehingga tercipta sinkretisme antara kepercayaan asli dengan ajaran baru.

Ketika Islam mulai menyebar di Jawa pada abad ke 13, Kapitayan semakin tersingkir.

Meskipun demikian, ajaran-ajaran dan praktik Kapitayan tidak sepenuhnya hilang. Banyak tradisi keagamaan lokal yang masih bertahan hingga sekarang, seperti kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan roh leluhur, yang sebenarnya merupakan warisan dari Kapitayan.

Tradisi ini terlihat dalam beberapa ritual adat Jawa yang masih dilaksanakan hingga saat ini, seperti slametan, ruwatan, dan bersih desa. (Red/Jay)

Koni Palopo