Pemkot Palopo
HeadlineOpiniViral

Transformasi Perkaderan HMI di Era Digitalisasi

172
×

Transformasi Perkaderan HMI di Era Digitalisasi

Sebarkan artikel ini

WARTAWAKTU.com|OPINI – Di tengah arus deras perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi, organisasi kemahasiswaan di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan relevansi dan perannya di tengah generasi digital.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, tidak luput dari gelombang transformasi ini. Perubahan zaman menuntut HMI melakukan penyesuaian signifikan dalam proses kaderisasi, yang menjadi jantung dari keberlanjutan dan kekuatan organisasi.

Perkaderan sebagai Jantung Organisasi

Sejak didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta, HMI telah menempatkan perkaderan sebagai fondasi utama dalam membentuk intelektual muslim yang berintegritas dan bertanggung jawab terhadap kemajuan umat dan bangsa.

Sistem kaderisasi HMI dikenal sistematis, berjenjang, dan berbasis nilai. Mulai dari Basic Training (LK I), Intermediate Training (LK II), hingga Advance Training (LK III), kader dibentuk dalam suasana yang mendorong pembentukan karakter, pemahaman keislaman, wawasan kebangsaan, dan kepekaan sosial.

Namun, selama puluhan tahun, sistem ini dijalankan secara konvensional melalui pelatihan tatap muka, diskusi kelompok, forum intelektual, dan aktivitas kemahasiswaan di tingkat komisariat maupun cabang. Cara ini dinilai efektif dalam membangun kedekatan emosional antar kader, memperkuat militansi, serta mewariskan nilai-nilai ke-HMI-an secara langsung dan kontekstual.

Digitalisasi sebagai Keniscayaan

Memasuki dekade ketiga abad ke 21, digitalisasi telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), per 2024 terdapat lebih dari 220 juta pengguna internet di Indonesia, dan mayoritas berasal dari kalangan muda. Mahasiswa, sebagai generasi digital native, kini hidup dalam lanskap sosial yang dipengaruhi kuat oleh media sosial, platform digital, dan komunikasi berbasis internet.

Transformasi digital semakin dipercepat oleh pandemi Covid-19. Ketika pembatasan sosial diterapkan, hampir seluruh kegiatan organisasi mahasiswa, termasuk HMI, terpaksa dialihkan ke platform daring. Pelaksanaan LK I dan LK II di beberapa cabang dilakukan secara virtual melalui Zoom, Google Meet, hingga LMS (Learning Management System) mandiri.

Situasi ini membuka babak baru dalam perjalanan perkaderan HMI. Meskipun awalnya menjadi solusi darurat, pendekatan digital mulai menunjukkan potensi jangka panjang. Kegiatan diskusi, forum intelektual, dan pelatihan dapat diakses lintas wilayah, dengan keterlibatan narasumber nasional dan internasional secara fleksibel.

Tantangan Digitalisasi Perkaderan

Namun, perubahan tidak selalu mudah. Proses digitalisasi perkaderan menghadirkan sejumlah tantangan yang tidak ringan. Pertama, persoalan kesenjangan akses digital. Tidak semua kader memiliki perangkat yang memadai atau jaringan internet yang stabil, terutama di wilayah timur Indonesia dan daerah rural.

Kedua, interaksi digital cenderung bersifat satu arah dan kurang membangun kedekatan emosional yang selama ini menjadi ciri khas perkaderan HMI.

Ketiga, munculnya kekhawatiran soal otentisitas nilai. Nilai-nilai dasar perjuangan HMI, keislaman dan keindonesiaan dikhawatirkan kehilangan ruh jika hanya ditransmisikan lewat layar. Konteks, pemaknaan, dan internalisasi nilai memerlukan sentuhan manusiawi yang mendalam, bukan sekadar klik dan unduh.

Adaptasi dan Inovasi

Di tengah tantangan tersebut, sejumlah cabang dan komisariat mulai mengembangkan pendekatan hybrid (gabungan daring dan luring). LK I tetap dilaksanakan secara langsung, sementara pengayaan materi dan forum diskusi dilakukan secara daring setelah pelatihan.

Inovasi juga dilakukan melalui pengembangan platform e-learning internal, seperti peluncuran website kaderisasi yang memuat video materi, artikel intelektual, serta ruang diskusi virtual. Beberapa cabang seperti HMI Cabang Ciputat dan Cabang Yogyakarta mulai menginisiasi podcast kaderisasi, kanal YouTube edukatif, dan kelas daring tematik.

Tidak hanya itu, pelatihan kader kini turut memasukkan literasi digital, keamanan digital, dan etika bermedia sosial sebagai bagian dari materi pengayaan. Tujuannya agar kader tidak hanya memahami teori sosial dan keislaman, tetapi juga mampu menggunakan teknologi secara bijak dan produktif dalam berdakwah dan berjuang.

Menjawab Zaman, Menjaga Nilai

Transformasi perkaderan bukan sekadar soal metode. Lebih dari itu, ia menyangkut soal paradigma. Jika dulu kader dituntut cakap dalam forum fisik, kini mereka juga harus lincah dalam ruang digital. Kecakapan teknologis tidak boleh memisahkan kader dari nilai-nilai dasar HMI, justru harus memperkuatnya.

Menurut Dr. M. Ichsanuddin, transformasi digital dalam organisasi kader adalah keniscayaan. “Kader HMI hari ini harus mampu berbicara dalam bahasa digital tanpa kehilangan identitas ideologisnya. Kalau tidak, mereka akan tertinggal, atau lebih buruk tercerabut dari akarnya.”

Hal ini menuntut peran aktif Bidang Pembinaan Anggota di semua tingkatan. Penyusunan kurikulum digital, pelatihan instruktur digital, dan pembuatan arsip keilmuan secara daring menjadi langkah yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan.

Menuju Kader Digital Berkarakter

Digitalisasi perkaderan HMI adalah bagian dari dinamika zaman yang tidak bisa dihindari. Namun demikian, adaptasi tidak boleh mengorbankan substansi. Proses kaderisasi tetap harus menjawab mandat konstitusional HMI: mencetak insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Untuk itu, HMI perlu membangun ekosistem kaderisasi digital yang inklusif, adaptif, dan berbasis nilai. Kader harus diajak berpikir kritis, memahami isu global, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai lokal dan ideologis HMI. Teknologi hanya alat, bukan tujuan. Tujuan tetap sama, yakni mencetak pemimpin umat dan bangsa.

Dalam jangka panjang, transformasi digital dapat memperluas jangkauan HMI ke berbagai daerah yang selama ini belum terjangkau secara maksimal. Kaderisasi tidak lagi terbatas ruang dan waktu. Namun keberhasilannya bergantung pada kesungguhan dalam menjaga kualitas dan semangat perjuangan.

Sejarah telah membuktikan bahwa HMI mampu bertahan dan beradaptasi dalam berbagai era. Dari masa kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi. Kini, di era digitalisasi, tantangan baru hadir tetapi harapan tetap sama: HMI sebagai kawah candradimuka kader umat dan kader bangsa.(**)

Oleh: Muh. Elmi

Koni Palopo